TUNJUK AJAR, PANTANG LARANG DAN TEMBUNG LAKU

  • Sabtu, 26 September 2020 - 09:04:15 WIB
TUNJUK AJAR, PANTANG LARANG DAN TEMBUNG LAKU

TUNJUK AJAR, PANTANG LARANG DAN TEMBUNG LAKU Suatu pemikiran untuk Budaya Kerja Organisasi di Lembaga Pemerintahan di Bangka Belitung. Dato' Akhmad Elvian DPMP*) Sekretaris LAM NSS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Budaya berasal dari kata buddhayah adalah bentuk jamak dari budhi dan daya. Budhi berarti akal, nafs, qolbu atau budi, sedangkan daya yaitu kemampuan atau daya dari diri seseorang.

Budaya dibentuk dari cipta, rasa dan karsa manusia. Cipta adalah kemampuan diri seseorang yang mampu membedakan antara yang benar dan salah. Rasa adalah kemampuan diri seseorang membedakan antara yang indah dan tidak indah, kemudian karsa adalah kemampuan manusia membedakan antara yang baik dan buruk.

Budaya memiliki nilai yang disebut nilai budaya. Nilai disini bukan berarti nilai dalam konteks nilai nominal maupun instrinsik akan tetapi nilai budaya adalah nilai worth dan goodness yang berarti keberhargaan dan kebaikan. Masyarakat Melayu Bangka Belitung sangat mementingkan budhi (akal ,nafs, qolbu atau budi) sebagai perlambang yang tinggi dari peradaban (civilitation), seperti budi pekerti (tingkah laku atau perbuatan yang baik seperti tunjuk ajar, pantang larang dan tembung laku), budi bahasa (tutur kata yang soPan dan sanTun seperti PanTun, kiasan, ungkapan tradisi, pepatah, petatah-petitih, ujaran), budi busana (baju kurung panjang dan teluk/keluk belanga, Kurung bermakna dikurung secara sara' dan dikukung secara adat), selanjutnya budi karya (tindakan yang berbudi sesuai norma ketentuan hukum adat istiadat setempat, ada 45 pasal hukum adat sindang mardika).

Terkait dengan Budaya Kerja Organisasi ada beberapa konsep dan saran saya yang dapat dijadikan budaya kerja organisasi di Bangka Belitung berdasarkan kearifan lokal yaitu: Pertama, Budaya Tunjuk Ajar; tunjuk ajar artinya petunjuk dan ajaran atau ujaran dari orangtua, sesepuh, tokoh atau pimpinan. Budaya Tunjuk Ajar dilakukan oleh leluhur kita misalnya dalam mengaji dan mengkaji sesuatu. Tunjuk atau telunjuk biasanya diacungkan lurus tidak bengkok sebagai simbol kebenaran, kelurusan, kebaikan dan kejujuran, jadi budaya kerja organisasi bahwa pemimpin atau atasan harus senantiasa tunjuk ajar yaitu membiasakan berbuat baik, benar, lurus, dan jujur. Dalam metode mengaji dan mengkaji yang disebut Sorogan, biasanya guru ngaji menggunakan alat tunjuk berupa rotan panjang atau lidi Kabung yang panjang dan berfungsi sebagai alat untuk menunjuk dan menghukum. Dalam satu organisasi harus diterapkan reward and punishment dan untuk melaksanakannya perlu dipatuhi norma, dan peraturan perundang undangan. Biasanya alat tunjuk ajar guru lebih panjang dari murid, bermakna bahwa pemimpin itu dilebihkan atau ditinggikan dari yang dipimpin.

Pemimpin dalam konteks kemelayuan Bangka Belitung adalah dimajukan selangkah, ditinggikan seranting, bila disamping ia menintin dan menuntun dan bila di belakang tidak menumit. Alat tunjuk ajar murid atau staf/pegawai biasanya lebih pendek dari guru dan pemimpin artinya harus bersikap berbudi, tidak boleh bersikap berlebih lebihan dari pemimpin dalam satu organisasi. Posisi guru dalam mengaji dan mengkaji berada dalam posisi terbalik atau membaca terbalik artinya seorang pemimpin harus pandai dalam menyikapi segala kondisi sesulit apapun.

Tunjuk Ajar biasanya disimbolkan dengan huruf Alif. Kedua, Budaya Pantang Larang. Dalam konteks budaya Bangka Belitung dikenal pantang larang yaitu pantangan dan larangan dalam kehidupan atau dalam tradisi dan adat istiadat. Pantang Larang adalah bentuk kepatuhan terhadap kebiasaan budaya (cultural Habits) dan aturan aturan budaya (cultural law). Kebiasaan budaya dan aturan budaya adalah kearifan lokal atau lokal genius suatu masyarakat yang memiliki nilai kebaikan (goodness) dan keberhargaan (worth) hasil dari cipta, rasa dan karsa masyarakat yang sudah berlangsung lama dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan diyakini dapat membawa kesejahteraan lahir dan batin bagi masyarakat.

Pantang Larang dapat berupa sesuatu yang dipantangkan dan dilarang untuk diucapkan, dibawa, dan dikerjakan. Misalnya bila masuk hutan dipantangkan berucap yang kotor, dipantangkan membawa yang bukan muhrim dan dipantangkan berteriak memanggil nama orang. Dalam budaya kerja organisasi, Pantang Larang dapat dilakukan tentu saja harus dirumuskan apa saja yang dipantangkan dan dilarang terkait spesifikasi organisasinya. Untuk penerapan pantang larang perlu reward and punishment yang juga harus dirumuskan dengan baik.Pantang larang cenderung bersifat ajakan, seruan, norma dan etika. Punishment pun sifatnya harus edukatif dan mendidik serta lebih ditujukan pada sikap kemelayuan. Pantang Larang disimbolkan dengan huruf Lam Alif dan biasanya berbentuk seperti Rihal tempat dudukan Al Quran saat mengaji dan mengkaji. Ketiga, budaya Tembung Laku. Tembung artinya peraturan atau ketentuan, sedangkan laku adalah perilaku atau perbuatan.

Dalam hukum adat Sindang Mardika yang berlaku di Bangka Belitung terdapat sekitar 45 pasal yang mengatur tentang kemasyarakatan, adat istiadat, tradisi, termasuk sanksi hukuman. Tembung Laku dapat menjadi budaya kerja terkait kepatuhan dan ketaatan dalam satu organisasi terhadap aturan dan ketentuan yang berlaku dan dibuat oleh pemerintah. TUNJUK AJAR bisa dijadikan budaya kerja: Tuah, Normatif, Jujur, Kreatif, Agamis dan Jati Diri, sedangkan PANTANG LARANG bisa dijadikan budaya kerja: Pandai, Tangguh, Lancar, Ramah tamah, dan Nganggung. sedangkan TEMBUNG LAKU bisa dijadikan budaya kerja organisasi: Terampil, Bersahaja, Unggul, Loyalitas, Amanah dan Kualitas. *) Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung Penerima Anugerah Kebudayaan

Berita Terkait Lainnya